Dalam Godaan: Sang Istri yang Tak Mampu Bertahan

Posted on

Dalam Godaan: Sang Istri yang Tak Mampu Bertahan

Minggu kemarin aku mempunyai tetangga baru yang tinggal disamping rumahku. Setelah aku tanya-tanya ternyata yang pindah disamping rumahku tersebut adalah pasangan suami istri yang baru saja menikah. Yang laki-laki namanya Arif umurnya sekitar 35 tahunan dan yang wanita namanya Reni umurnya sekitar 24 tahunan.

Ketika aku pertama melihat mereka berdua aku sudah mengetahui kalau jarak umur antara mereka berdua sangat jauh, terlihat dari wajah laki-lakinya yang sudah menua. Namun aku sangat tertarik sekali dengan wanitanya yang bernama Reni tersebut.

Dia masih muda, cantik, dan juga memiliki tubuh yang sangat aduhai dengan postur tinggi sekitar 167cm, berat badan 57kg, dan tubuhnya dihiasi dengan buah d*d* yang lumayan besar sekitar 36B dan juga pnt*tnya yang sangat menggoda, tidak terlalu besar namun terlihat sangat padat dan berisi. Sungguh aku sangat n*fsu pada Reni.

Entah mengapa, tiba-tiba saja muncul pertanyaan nakal di otakku. Apakah Istri seperti itu memang memiliki kesetiaan yang benar-benar tulus dan jauh dari pikiran macam-macam terhadap suaminya? Sebutlah misalnya berhayal pada suatu ketika bisa melakukan petualangan s*ks*al dengan lelaki lain?

Apakah seorang istri seperti itu mampu bertahan dari godaan s*ks yang kuat, jika pada suatu ketika, dia terposisikan secara paksa kepada suatu kondisi yang memungkinkannya bermain s*ks dengan pria lain? Apakah dalam situasi seperti itu, dia akan melawan, menolak secara total meski keselamatannya terancam?

Atau apakah dia justru melihatnya sebagai peluang untuk dimanfaatkan, dengan dalih ketidakberdayaan karena berada dibawah ancaman? Pertanyaan-pertanyaan itu, secara kuat menyelimuti otak dudaku yang memang kotor dan suka berhayal tentang penyimpangan s*ks*al.

Sekaligus juga akhirnya melahirkan sebuah rencana biadab, yang jelas sarat dengan resiko dosa dan hukum yang berat. Aku ingin memp*rk*sa Reni! Wuah! Tapi itulah memang tekad yang terbangun kuat di otak binatangku. Sesuatu yang membuatmu mulai hari itu, secara diam-diam melakukan pengamatan dan penelitian intensif terhadap pasangan suami istri muda tersebut.

Kuamati, kapan keduanya mulai bangun, mulai tidur, makan dan bercengkrama. Kapan saja si Suami bepergian ke luar kota lebih dari satu malam, karena tugas perusahaannya sebuah distributor peralatan elektronik yang cukup besar. Dengan kata lain, kapan Reni, wanita dengan sepasang buah d*d* dan pinggul yang montok sintal itu tidur sendirian di rumahnya.

Untuk diketahui, pasangan ini tidak punya pembantu. Saat itulah yang bakal kupilih untuk momentum memp*rk*sanya. Menikmati bangun dan lekuk-lekuk tubuhnya yang memancing ga*rah, sambil menguji daya tahan kesetiaannya sebagai istri yang bisa kukategorikan lumayan setia.

Sebab setiap suaminya bepergian atau sedang keluar, wanita ini hanya mengunci diri di dalam rumahnya. Selama ini bahkan dia tak pernah kulihat meski hanya untuk duduk-duduk di terasnya yang besar. Itu ciri Ibu Rumah Tangga yang konservatif dan kukuh memegang tradisi sopan-santun budaya wanita timur yang sangat menghormati suami.

Meski mungkin mereka sadar, seorang suami, yang terkesan sesetia apapun, jika punya peluang dan kesempatan untuk bermain g*la, mudah terjebak ke sana. Aku tahu suaminya, si Arif selalu bepergian keluar kota satu atau dua malam, setiap hari Rabu.

Apakah benar-benar untuk keperluan kantornya, atau bisa jadi menyambangi wanita simp*nannya yang lain. Dan itu bukan urusanku. Yang penting, pada Rabu malam itulah aku akan melaksanakan aksi biadabku yang mendebarkan. Semua tahapan tindakan yang akan kulakukan terhadap wanita yang di mataku semakin mengga*rahkan itu, kususun dengan cermat.

Aku akan menyelinap ke rumahnya hanya dengan mengenakan celana training minus cel*na d*lam, serta baju kaos ketat yang mengukir bentuk tubuh bidangku. Buat Anda ketahui, aku pria macho dengan penampilan menarik yang gampang memaksa wanita yang berpapasan denganku biasanya melirik.

Momen yang kupilih, adalah pada saat Reni akan tidur. Karena berdasarka hasil pengamatanku, hanya pada saat itu, dia tidak berkebaya, cuma mengenakan daster tipis yang (mungkin) tanpa k*tang. Aku tak terlalu pasti soal ini, karena cuma bisa menyaksikannya sekelebat saja lewat cara mengintip dari balik kaca jendelanya dua hari lalu.

Kalau Reni cuma berdaster, berarti aku tak perlu disibukkan untuk melepaskan stagen, baju, k*tang serta kain yang membalut tubuhnya kalau lagi berkebaya. Sedang mengapa aku cuma mengenakan training spack tanpa cel*na d*lam, tahu sendirilah.

Aku menyelinap masuk ke dalam rumahnya lewat pintu dapur yang terbuka petang itu. Saat Reni pergi mengambil jemuran di kebun belakangnya, aku cepat bersembunyi di balik tumpukan karton kemasan barang-barag elektronik yang terdapat di sudut ruangan dapurnya.

Dari sana, dengan sabar dan terus berusaha untuk mengendalikan diri, wanita itu kuamati sebelum dia masuk ke kamar tidurnya. Dengan mengenakan daster tipis dan ternyata benar tanpa k*tang kecuali cel*na d*lam di baliknya. Si Istri Setia itu memeriksa kunci-kunci jendela dan pintu rumahnya.

Dari dalam kamarnya terdengar suara acara televisi cukup nyaring. Nah, pada saat dia akan masuk ke kamar tidurnya itulah, aku segera memasuki tahapan berikut dari strategi memp*rk*sa wanita bertubuh sintal ini. Dia kusergap dari belakang, sebelah tanganku menutup mulutnya, sedang tangan yang lain secara kuat mengunci kedua tangannya.

Reni terlihat tersentak dengan mata terbeliak lebar karena terkejut sekaligus panik dan ketakutan. Dia berusaha meronta dengan keras. Tapi seperti adegan biasa di film-film yang memperagakan ulah para baj*ngan, aku cepat mengingatkannya untuk tetap diam dan tidak bertindak bodoh melakukan perlawanan. Hanya bedanya, aku juga mengutarakan permintaan maaf.

“Maafkan saya Mbak. Saya tidak tahan untuk tidak memeluk Mbak. Percayalah, saya tidak akan menyakiti Mbak. Dan saya bersumpah hanya melakukan ini sekali. Sekali saja,” bisikku membujuk dengan nafas memburu akibat n*fsu dan rasa tegang luar biasa. Reni tetap tidak peduli. Dia berusaha mengamuk, menendang-nendang saat kakiku menutup pintu kamarnya dan tubuhnya kepepetkan ke dinding.

Kalau Mbak ribut, akan ketahuaan orang. Kita berdua bisa hancur karena malu dan aib. Semua ini tidak akan diketahui orang lain. Saya bersumpah merahasiakannya sampai mati, karena saya tidak mau diketahui orang lain sebagai pem*rk*sa,” bisikku lagi dengan tetap mengunci seluruh gerakan tubuhnya.

Tahapan selanjutnya, adalah menc*umi bagian leher belakang dan telinga wanita beraroma tubuh harum merangs*ng itu. Sedang senj*taku yang keras, tegang, perkasa dan penuh urat-urat besar, kutekankan secara keras ke belahan pant*tnya dengan gerakan memutar, membuat Reni semakin terjepit di dinding.

Dia mencoba semakin kalap melawan dan meronta, namun apalah artinya tenaga seorang wanita, di hadapan pria kekar yang sedang dikuasai n*fsu binatang seperti diriku. Aksi menc*umi dan menekan pant*t Reni terus kulakukan sampai lebih kurang sepuluh menit.

Setelah melihat ada peluang lebih baik, dengan gerakan secepat kilat, dasternya kusingkapkan. Cel*na d*lamnya segera kutarik sampai sobek ke bawah, dan sebelum wanita ini tahu apa yang akan kulakukan, belahan pant*tnya segera kubuka dan lub*ng an*snya kujil*ti secara buas. Reni terpekik.

Sebelah tanganku dengan gesit kemudian menyelinap masuk diantara selangk*ngannya dari belakang dan mer*ba serta mer*mas bagian luar kem*lu*nnya, tapi membiarkan bagian dalamnya tak terj*mah. Strategiku mengingatkan belum waktunya sampai ke sana.

Aksi menjil*t dan mer*mas serta mengusap-usap ini kulakukan selama beberapa menit. Reni terus berusaha melepaskan diri sambil memintaku menghentikan tindakan yang disebutnya jahanam itu. Dia berulang-ulang menyebutku bin*tang dan baj*ngan. Tak soal. Aku memang sudah jadi bin*tang baj*ngan. Dan sekarang sang baj*ngan sudah tanpa celana, tel*nj*ng sebagian.

“Akan kulaporkan ke suamiku,” ancamnya kemudian dengan nafas terengah-engah.
Aku tak menyahut sambil bangkit berdiri serta menc*umi pundaknya. Lalu menempelkan b*tang perk*saku yang besar, tegang dan panas diantara belahan pant*tnya.

Menekan dan memutar-mutarnya dengan kuat di sana. Sedang kedua tanganku menyusup ke depan, mer*ba, mer*mas dan memainkan put*ng buah d*d* besar serta montok wanita yang terus berjuang untuk meloloskan diri dari bencana itu.
“Tolong Mas Dartam, lepaskan aku. Kasihani aku,” ratapnya.

Aku segera menc*umi leher dan belakang telinganya sambil berbisik untuk membujuk, sekaligus memprovokasi.
“Kita akan sama-sama mendapat kepuasan Mbak. Tidak ada yang rugi, karena juga tidak akan ada yang tahu. Suamimu sedang keluar kota. Mungkin juga dia sedang bergulat dengan wanita lain. Apakah kau percaya dia setia seperti dirimu,” bujukku mesra.

“Kau baj*ngan terkutuk,” pekiknya dengan marah.
Sebagai jawabannya, tubuh putih yang montok dan harum itu (ciri yang sangat kusenangi) kali ini kupeluk kuat-kuat, lalu kuseret ke atas ranjang dan menjatuhnya di sana. Kemudian kubalik, kedua tangannya kurentangkan ke atas.

Selanjutnya, ketiak yang berbulu halus dan basah oleh keringat milik wanita itu, mulai kuc*umi. Dari sana, c*umanku meluncur ke sepasang buah d*d*nya. Menjil*t, mengg*git-g*git kecil, serta meny*dot put*ngnya yang terasa mengeras tegang.

“Jangan Mas Darta. Jangan.. Tolong lepaskan aku.”
Wanita itu mengg*liat-g*liat keras. Masih tetap berusaha untuk melepaskan diri. Tetapi aku terus bertindak semakin jauh. Kali ini yang menjadi sasaranku adalah perutnya.

Kujil*t habis, sebelum pelan-pelan merosot turun lebih ke bawah lalu berputar-putar di bukit kem*lu*nnya yang ternyata menggunung tinggi, mirip roti. Sementara tanganku mer*mas dan mempermainkan buah d*d*nya, kedua b*tang p*ha putih dan mulusnya yang menjepit rapat, berusaha kubuka.

Reni dengan kalap berusaha bangun dan mendorong kepalaku. Kakinya menendang-nendang kasar. Aku cepat menj*nakkannya, sebelum kaki dan dengkul yang l*ar itu secara telak membentur dua b*ji kej*nt*nnanku. Bisa celaka jika itu terjadi.

Kalau aku semaput, wanita ini pasti lolos. Setelah berjuang cukup keras, kedua p*ha Reni akhirnya berhasil kukuakkan. Kemudian dengan keahlian melakukan cunnil*ngus yang kumiliki dari hasil belajar, berteori dan berpraktek selama ini, lub*ng dan bib*r kel*min wanita itu mulai menjadi sasaran l*dah dan bib*rku.

Tanpa sadar Reni terpekik, saat kec*pan dan permainan ujung l*dahku menempel kuat di kl*torisnya yang mengeras tegang. Kulakukan berbagai sapuan dan dorongan l*dah ke bagian-bagian sangat sensitif di dalam liang sengg*manya, sambil tanganku terus mengusap, mer*mas dan memijit-mijit kedua buah d*d*nya.

Reni mengg*liat, terguncang dan tergetar, kadang menggigil, menahan dampak dari semua aksi itu. Kepalanya digeleng-gelengkan secara keras. Entah pernyataan menolak, atau apa. Sambil melakukan hal itu, mataku berusaha memperhatikan permukaan perut si Istri Setia ini.

Dari sana aku bisa mempelajari reaksi otot-otot tubuhnya, terhadap gerakan l*dahku yang terus menyeruak masuk dalam ke dalam l*ang sengg*manya. Dengan sentakan-sentakan dan gelombang di bagian atas perut itu, aku akan tahu, di titik dan bagian mana Reni akan merasa lebih terangs*ng dan nikmat.

Gelombang rangs*ngan yang kuat itu kusadari mulai melanda Reni secara fisik dan emosi, ketika perlawanannya melemah dan kaki serta kepalanya bergerak semakin resah. Tak ada suara yang keluar, karena wanita ini menutup bahkan mengg*git bib*rnya.

G*liat tubuhnya bukan lagi refleksi dari penolakan, tetapi (mungkin) gambaran dari seseorang yang mati-matian sedang menahan kenikmatan. Berulang kali kurasakan kedua p*hanya bergetar. Kem*luannya banjir membasah. Ternyata benar analisa otak kotorku beberapa pekan lalu.

Bahwa sesetia apapun seorang Istri, ada saat di mana benteng kesetiaan itu ambruk, oleh rangs*ngan s*ksual yang dilakukan dalam tempo relatif lama secara paksa, langsung, intensif serta tersembunyi oleh seorang pria ganteng yang ahli dalam masalah s*ks.

Reni telah menjadi contoh dari hal itu. Mungkin juga ketidakberdayaan yang telah membuatnya memilih untuk pasrah. Tetapi rasanya aku yakin lebih oleh gelora n*fsu yang bangkit ingin mencari pelampiasan akibat rangs*ngan yang kulakukan secara intensif dan ahli di seluruh bagian sensitif tubuhnya.

Aksiku selanjutnya adalah dengan memutar tubuh, berada di atas Reni, memposisikan b*tang kej*ntan*nku tepat di atas wajah wanita yang sudah mulai membara dibakar n*fsu b*rahi itu. Aku ingin mengetahui, apa reaksinya jika terus kurangs*ng dengan b*tang perkasaku yang besar dan hangat tepat berada di depan mulutnya.

Wajahku sendiri, masih berada diantara selangk*ngannya dengan l*dah dan bib*r terus menjil*t serta mengh*sap kl*toris dan l*ang kew*nita*nnya. Pah* Reni sendiri, entah secara sadar atau tidak, semakin membuka lebar, sehingga memberikan kemudahan bagiku untuk menikmati kel*minnya yang sudah membanjir basah.

Mulutnya berulangkali melontarkan jeritan kecil tertahan yang bercampur dengan des*san. Aksi itu kulakukan dengan intensif dan penuh n*fsu, sehingga berulang kali kurasakan p*ha serta tubuh wanita cantik itu bergetar dan berkelojotan.

Beberapa menit kemudian mend*d*k kurasa sebuah benda basah yang panas menyapu b*tang kej*ntan*nku, membuatku jadi agak tersentak. Aha, apalagi itu kalau bukan l*dah si Istri Setia ini. Berarti, selesailah sudah seluruh perlawanan yang dibangunnya demikian gigih dan habis-habisan tadi.

Wanita ini telah menyerah. Namun sayang, jil*tan yang dilakukannya tadi tidak diulanginya, meski b*tang kej*ntan*nku sudah kurendahkan sedemikian rupa, sehingga memungkinkan mulutnya untuk menelan bagian kepalanya yang sudah sangat keras, besar dan panas itu.

Boleh jadi wanita ini merasa dia telah menghianati suaminya jika melakukan hal itu, mengh*sap b*tang kej*ntan*n pria yang memp*rk*sanya! Tak apa. Yang penting sekarang, aku tahu dia sudah menyerah. Aku cepat kembali membalikkan tubuh.

Memposisikan b*tang kej*ntan*nku tepat di depan bukit kew*nita*nnya yang sudah merekah dan basah oleh cairan dan air l*dahku. Aku mulai menc*umi pipinya yang basah oleh air mata dan lehernya. Kemudian kedua belah ketiaknya. Reni menggel*njang l*ar sambil membuang wajahnya ke samping. Tak ingin bertatapan denganku.

Buah d*d*nya kujil*ti dengan buas, kemudian berusaha kumasukan sedalam-dalamnya ke dalam mulutku. Tubuh Reni meng*jang menahan nikmat. Tindakan itu kupertahankan selama beberapa menit. kemudian b*tang kej*ntan*nku semakin kudekatkan ke bib*r kem*lu*nnya.

Ah.., wanita ini agaknya sudah mulai tidak sabar menerima b*tang panas yang besar dan akan memenuhi seluruh l*ang sangg*manya itu. Karena kurasa p*hanya membentang semakin lebar, sementara pinggulnya agak diangkat membuat lub*ng sangg*manya semakin menganga merah.

“Mbak Mar sangat cantik dan merangs*ng sekali. Hanya lelaki yang beruntung dapat menikmati tubuhmu yang luar biasa ini,” gombalku sambil menc*umi pipi dan lehernya.
“Sekarang punyaku akan memasuki punya Mbak. Aku akan memberikan kenikmatan yang luar biasa pada Mbak. Sekarang nikmatilah dan kenanglah peristiwa ini sepanjang hidup Mbak.”

Setelah mengatakan hal itu, sambil menarik otot di sekitar an*s dan p*haku agar ketegangan kel*minku semakin meningkat tinggi, l*ang kenikm*tanwanita desa yang bermata bulat jelita itu, mulai kuterobos. Reni terpekik, tubuhnya menggeliat, tapi kutahan. B*tang kej*ntan*nku terus merasuk semakin dalam dan dalam, sampai akhirnya tenggelam penuh di atas bukit kel*min yang montok berbulu itu.

Untuk sesaat, tubuhku juga ikut bergetar menahan kenikmatan luar biasa pada saat l*ang kew*nita*n wanita ini berdenyut-deyut menjepitnya. Tubuhku kudorongkan ke depan, dengan pant*t semakin ditekan ke bawah, membuat pangkal atas b*tang kej*ntan*nku menempel dengan kuat di kl*torisnya. Reni melenguh gelisah.

Tangannya tanpa sadar memeluk tubuhku dengan punggung melengkung. Kudiamkan dia sampai agak lebih tenang, kemudian mulailah gerakan alamiah untuk coitus yang membara itu kulakukan. Reni kembali terpekik sambil meronta dengan mulut mendesis dan melengguh.

Temb*kan b*tang kej*ntan*nku kulakukan semakin cepat, dengan gerakan berubah-ubah baik dalam hal sudut temb*kannya, maupun bentuknya dalam melakukan pen*trasi. Kadang lurus, miring, juga memutar, membuat Reni benar-benar seperti orang kesurupan.

Wanita ini kelihatanya sudah total lupa diri. Tangannya mencengkram pundakku, lalu mend*d*k kepalanya terangkat ke atas, matanyaterbeliak, giginya dengan kuat mengg*git pundakku. Dia org*sme! Gerakan keluar-masuk b*tang kej*ntan*nku kutahan dan hanya memutar-mutarnya, mengaduk seluruh l*ang sangg*ma Reni, agar bisa menyentuh dan mengg*las bagian-bagian sens*tif di sana.

Wanita berpinggul besar ini meregang dan berkelonjotan berulang kali, dalam tempo waktu sekitar dua puluh detik. Semuanya kemudian berakhir. Mata dan hidungnya segera kuc*umi. Pipinya yang basah oleh air mata, kusapu dengan hidungku. Tubuhnya kupeluk semakin erat, sambil mengatakan permintaan maaf atas kebiadabanku. Reni cuma membisu.

Kami berdua saling berdiaman. Kemudian aku mulai beraksi kembali dengan terlebih dahulu menc*um dan menjil*ti leher, telinga, pundak, ketiak serta buah d*d*nya. K*c*kan kej*ntan*nku kumulai secara perlahan. Kepalanya kuarahkan ke bagian-bagian yang sens*tif atau G-Sp*t wanita ini. Hanya beberapa detik kemudian, Reni kembali gelisah.

Kali ini aku bangkit, mengangkat kedua p*hanya ke atas dan membentangkannya dengan lebar, lalu mengh*jamkan b*tang perkasaku sedalam-dalamnya. Reni terpekik dengan mata terbeliak, menyaksikan b*tang kej*ntan*nku yang mungkin jauh lebih besar dari milik suaminya itu, berulang-ulang keluar masuk diantara lub*ng berbulu basah miliknya.

Matanya tak mau lepas dari sana. Kupikir, wanita ini terbiasa untuk berlaku seperti itu, jika bers*tubuh. Wajahnya kemudian menatap wajahku.
“Mas…” bisiknya.

Aku mengangguk dengan perasaan lebih terangs*ng oleh pangg*lan itu, k*c*kanb*tang kej*ntan*nku kutingkatkan semakin cepat dan cepat, sehingga tubuh Reni terguncang-guncang dahsyat. Pada puncaknya kemudian, wanita ini menjatuhkan tubuhnya di tilam, lalu mengg*liat, meregang sambil mer*mas sprei. Aku tahu dia akan kembali memasuki saat org*sme keduanya.

Dan itu terjadi saat mulutnya melontarkan pekikan nyaring, mengatasi suara Krisdayanti yang sedang menyanyi di pesawat televisi di samping ranjang. Pertarungan seru itu kembali usai. Aku terengah dengan tubuh bermandi keringat, di atas tubuh Reni yang juga basah kuyup.

Matanya kuc*umi dan hidungnya kuk*cup dengan lembut. Detak jantungku terasa memacu demikian kuat. Kurasakan b*tang kej*ntan*nku berdenyut-denyut semakin kuat. Aku tahu, ini saat yang baik untuk mempersiapkan org*smeku sendiri.

Tubuh Reni kemudian kubalikkan, lalu punggungnya mulai kujil*ti. Dia mengeluh. Setelah itu, pant*tnya kubuka dan kunaikkan ke atas, sehingga lub*ng an*snya ikut terbuka. Jilatan intensifku segera kuarahkan ke sana, sementara jariku memilin dan mengusap-usap kl*torisnya dari belakang.

Reni berulang kali menyentakkan badannya, menahan rasa ngilu itu. Namun beberapa menit kemudian, keinginan bers*tubuhnya bangkit kembali. tubuhnya segera kuangkat dan kuletakkan di depan toilet tepat menghadap cermin besar yang ada di depannya. Dia kuminta jongkok di sana, dengan membuka kakinya agak lebar.

Setelah itu dengan agak tidak sabar, b*tang kej*ntan*nku yang terus membesar keras, kuarahkan ke kel*minnya, lalu kusorong masuk sampai ke pangkalnya. Reni kembali terpekik. Dan pekik itu semakin kerap terdengar ketika b*tang kej*ntan*nku keluar masuk dengan cepat di l*ang sangg*manya.

Bahkan wanita itu benar-benar menjerit berulangkali dengan mata terbeliak, sehingga aku khawatir suaranya bisa didengar orang di luar. Wanita ini kelihatannya sangat terangs*ng dengan style bers*tubuh seperti itu. Selain b*tang kej*ntan*nku terasa lebih dahsyat menerobos dan menggesek bagian-bagian sens*tifnya, dia juga bisa menyaksikan wajahku yang t*gang dalam memompanya dari belakang.

Dan tidak seperti sebelumnya, Reni kali ini dengan suara gemetar mengatakan dia akan keluar. Aku cepat mengangkat tubuhnya kembali ke ranjang. menelentangkannya di sana, kemudian meny*tubuh*nya habis-habisan, karena aku juga sedang mempersiapkan saat org*smeku.

Aku akan melepas bendungan sp*rma di kepala kej*ntan*nku, pada saat wanita ini memasuki org*smenya. Dan itu terjadi, sekitar lima menit kemudian. Reni meregang keras dengan tubuh bergetar. Matanya yang cantik terbeliak. Maka org*smeku segera kulepas dengan hujaman b*tang kejantanan yang lebih lambat namun lebih kuat serta merasuk sedalam-dalamnya ke l*ang kew*nita*n Reni.

Kedua mata wanita itu kulihat terbalik, Reni meneriakkan namaku saat sp*rmaku menyembur berulang kali dalam tenggang waktu sekitar delapan detik ke dalam l*ang sangg*manya. Tangannya dengan kuat merangkul tubuhku dan tangisnya segera muncul. Kenikmatan luar biasa itu telah memaksa wanita ini menangis.

Aku memejamkan mata sambil memeluknya dengan kuat, merasakan nikmatnya org*sme yang bergelombang itu. Ini adalah org*smeku yang pertama dan penghabisanku dengan wanita ini. Aku segera berpikir untuk berangkat besok ke Kalimantan, ke tempat pamanku. Mungkin seminggu, sebulan atau lebih menginap di sana. Aku tidak boleh lagi mengulangi perbuatan ini. Tidak bo leh, meski misalnya Reni memintanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *